Judul pada tulisan ini saya ambil dari Google Translate, bahasa Prancis yang artinya (entah salah atau benar) adalah "terkocok". Padahal tujuan awalnya adalah "terombang-ambing". Nanti kalian akan menemui bahwa sesuatu yang dipaksakan dari awal, akan menyusahkan pada akhirnya.
Secara personal, selain ingin terlihat memiliki upaya memikirkan judul dalam bahasa lain, saya memiliki alasan tersembunyi dibalik judul yang bahasanya tidak saya pahami. Semacam kecenderungan, atau pemuasan diri.
Judul dalam tulisan ini, saya harap dapat mewakili isi. Saya tidak mau disamakan dengan judul berita atau judul video Youtube yang ngawur dan tak berkolerasi dengan isi (meskipun benar adanya).
Skip.
Terakhir, saya mengirimkan sebuah cerpen pada koran bulanan kampus. Saya pikir akan lolos dengan mudah, nyatanya tidak lolos, bukan apa-apa, saya pikir koran ini tidak sebegitu menarik, cerpen yang dimuat pun tidak jelas (beberapa sih) tapi lupakan, initinya saya mencari pembenaran dengan mengkambinghitamkan sesuatu. Suatu hari seseorang bilang pada saya, bahwa perbuatan seperti ini adalah "tai". Suatu hari saya sadar dari sebuah novel bahwa kau harus bilang hitam ketika itu hitam, setelahnya saya tidak mencari pembenaran dari kesalahan saya.
Kembali pada cerpen yang saya kirimkan, di sana saya membuat tokoh yang diharuskan mencari seseorang yang "tinggal dalam buku bacaannya". Awalnya saya tidak paham kenapa menulis itu, saya pikir itu akan membuat ceritanya cukup panjang dan terlihat absurd. Sampai pada satu titik saya merasa, ada benarnya, semua orang tinggal dalam buku bacaannya, Tapi untuk mencari orang yang dimaksud, kita harus menjadi bagian darinya, yang berarti mengabdi padanya, memberi waktu kita dengan segala pertaruhan "apakah dia orangnya?", jika salah ya diulangi kembali. Atau jika cukup pintar dan beruntung kita bisa menjadi pengamatnya dari luar, dengan data yang cukup untuk melihat karakternya tanpa harus "telanjang bersama".
Dari tokoh tersebut, sepertinya saya ingin mencari sosok yang sama. Atau malah saya sedang mencari sosok saya sendiri? Tidak tau. Suatu hari, pencarian sosok ini masuk dalam cerpen saya yang lain.
Saya sedang mengalami "hidup dalam buku bacaan". Buku saya bukan buku dalam makna harfiahnya, ia menjelma orang-orang yang saya temui dan yang saya ajak berdiskusi bersama, beberapa video yang saya tonton, kota yang saya singgahi, jalanan yang saya lewati, kamar tidur dengan lampu temaram yang mempengaruhi psikis saya, kehidupan konsumtif saya, dan terakhir buku, fisik sebuah buku bacaan.
Baiklah, hal yang saya tulis di atas adalah cikal bakal judul. Bahwa hari-hari ini saya mendapatkan pukulan berat, dan terasa diombang-ambingkan, dikocok.
Saya bertanya pula apakah seseorang yang telah membaca banyak buku akan merasa bahagia atau malah menderita? Yang satu menjawab tergantung bukunya, yang lain menjawab awalnya mungkin bahagia, nantinya menderita. Saya tidak membenarkan pun menyalahkan kedua pendapat itu, karena kesimpulan itu mereka dapat dari pengalaman membacanya juga.
Sedangkan saya, terhitung membaca sangat sedikit buku dan buku bacaan saya campur aduk (maklum, dalam hal ini saya tak kuasa membeli buku bagus pada Gramedia, karena terlalu mahal. Jadi saya hanya membaca buku yang dipinjamkan, yang saya pinjam, dan beli bekas ataupun mempengaruhi seseorang agar membeli buku yang saya ingini dengan dalih ini untuk kebaikannya, atau kebaikan saya).
Terakhir saya sedang membaca Masa Depan Tuhan-nya Karen Amstrong dan belum selesai, kemudian Sabda Zarathrustra-nya Nietzsche, Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng-nya Gaarder, Monte Cristo-nya Dumas, Sang Alkemis-nya Colho dan trilogi Parasit Lajang-nya Ayu Utami.
Terakhir saya juga membaca beberapa artikel, menonton video iklan-iklan dan tekniknya, lalu pergi ke Surabaya dan merasa miris terhadap supir angkot, taksi, ojek konvensional dengan banyaknya kendaraan pribadi serta kehidupan malam di sisi lain Surabaya tanpa kata kasar seperti, jancuk yang diidentikkan. Keadaan dalam kereta yang menarik saya pada belasan taun lalu ketika masih tinggal di Jakarta dan ada pada gerbong tak manusiawi bersama orang Madura saat Idul Adha. Dan juga pada malam segala pikiran saya berkecambuk dalam kamar yang temaram dan membuat mata serta pikiran sakit.
Termasuk dalam semua ini juga hasrat menulis yang datang seenaknya sendiri dan mencederai janji serta hak orang lain untuk bertemu. Sekarang ini, saat saya menulis ini, saya sedang egois tidak menghiraukan panggilan teman-teman saya. Untuk itu jika kalian membaca ini, saya minta maaf.
Begini, ketika saya membaca Zarathrustra, saya perlu berulang membacanya karena semua penuh isi, butuh orang dengan bacaan sepadan sehingga membacanya dan memahaminya dengan lancar. Lalu efek lain adalah timbul keputusasaan, karena tingkatan penggambaran manusia di luar manusia biasa adalah sebuah ide brilian untuk menciptakan sebuah harapan di tengah dunia penghancur harap bagi yang lemah. Seperti kata salah satu teman, bahwa dunia setelah kematian yang belum dapat dirasakan kebenarannya itu adalah bentuk keputusasaan terhadap kehidupan dunia.Semacam pengalihan kenyataan, sifatnya sementara. Setelah tidak menyelesaikan buku itu, saya menjadi sisi lain dari saya, bittersweet.
To be continued...
Saya harus berhenti. saya menyalahi banyak hal. saya akan kehilangan keduanya jika mempertahankan keduanya. jadi saya lebih memilih meningglkan tulisan ini. jika siapapun membaca ini, saya harap, nanti setelah terjadi pembaruan pada tulisan ini, mohon datang dan baca lagi.
siapa yang tidak butuh apresiasi?
0 komentar:
Post a Comment