Friday 27 October 2017

-_-

Kemarin aku baru mengikuti diklat teaterku, dengan tidak ramah kurasa.
aku kehilangan euforia menerima anggota baru atau membangun persahabatan hangat dengan anak-anak kecil hahhaa

Aku hanya berkutat pada kamera, memperhatikan semua orang melalui lensa. apa yang mereka kerjakan, apa yang mereka lihat, dan apa yang hendak mereka bangun jika sadar aku sedang merekamnya.

Harusnya hal terbaik adalah tidur dan melupakan mereka semua, karena tak ada yang benar-benar bisa kuajak berbincang sampai pagi. 
Tapi entahlah udara dinginya terlalu parah, akhirnya aku tak bisa lari dari kenyataan. Aku harus bangun dan menghadapinya.

Aku bangun, hanya segelintir yang masih terjaga, para senior dan alumni.
Mereka membuat api unggun dan minum anggur. awalnya canggung, lalu hangat gara-gara anggur.
Ada dua alumni yang berhasil membuatku merasa diterima, berbicara banyak hal mengenai zaman, manusia mesin, buku bacaan, ekonomi asia, ideologi agama, animasi, musik, kewarganegaraan, masa kecil, dan keluarga perihal pilihan keyakinan hidup. 

Dua alumni yang juga sepasang kekasih, yang juga sangat cocok karena cocok hahhaa keduanya pintar, tidak merendahkan, mau mendengar dan yah apapun yang kau rasa saat kau diterima.

Itu api unggun pertamaku pada diklat itu. Hangatnya diluar dan hanya sementara, berbeda dengan anggur.

Sekali lagi pada diklat itu aku tidak peduli dengan siapapun, ironisnya aku tetap membaur, munafik. Sekali kali kuletakkan kamera, aku ikut olah tubuh, menari dengan irama sangat menyenangkan dan ceria. Aku ingin terus menari, aku ingin jadi penari, yang menikmati dan dinikmati.

Malamnya api unggun kembali dibuat, kali ini dengan lebih banyak alumni asing yang samar aku kenal. Ada perbincangan hangat, entah karena kesemuan hangat api unggun atau karena anggur dan arak. Atau bisa juga karena obrolan tanpa henti antara kawan lama yang tidak menggubris dingin sama sekali. Aku hanyut, ikut bernyanyi, aku hanya mencari orang-orang yang menerimaku, yang paham aku. Ku tak mau buang-buang waktu pada selain itu. Aku pencari aman, karena aku benar-benar sendiri.

Makin larut, api unggun terakhir dibuat. Kali ini dengan anggota baru. Aku benar tak setertarik itu. Kuharap aku tidak perlu bercerita apapun, sejauh berputar ceritanya hampir seragam, sedih semua. duh aku sangat sinis, tapi tidak salah juga hahahha

Lalu sial, giliranku. Aku dapat giliran yang tak kuingini sama sekali. Lalu kupikir ini bisa jadi kesempatan bagus, aku mengambil kesempatan melihat respon dan ekspresi masing-masing anak. Aku membukanya dengan "Namaku Elly, hidupku penuh drama" tadaaaaa, aku tak peduli lagi.

Sekali lagi, mungkin memang aku sudah tidak cocok dengan yang begini beginian. Jadi ya, bisa saja ini yang terakhir.
Sudah kubilang, api unggun hangatnya hanya sementara, dia hanya menahan agar dingin tidak langsung menyerbu kita, sisanya ia minta sesembahan kayu bakar ranting dan daun. 
Share:

Thursday 26 October 2017

Sedikit Tentang Zaman-Zaman, Zaman



Epilog

Pada suatu masa setelah teknologi semakin bernyawa melebihi manusia, buku-buku dilarang beredar,  dibumihanguskan. Pada masa itu juga orang-orang menjadi gendut dan berkacamata. Lalu diantara mereka tinggal seorang lelaki tua, satu-satunya penulis konvensional di negeri itu.
Penulis itu bernama Jiwa, lahir ketika perang berlangsung dan dibuang oleh ibunya yang miskin. Jiwa memiliki umur tua yang menyebabkanya mengalami tiga perubahan zaman. Perubahan zaman tak selamnaya membawa dampak baik karena menuntut adaptasi dan pertahanan diri yang kuat.
Jiwa hidup seorang diri, orangtua angkatnya mati, kekasihnya Raga meninggalkannya. Banyak hal yang membuat Jiwa memutuskan mengasingkan diri setelah hari pembumihangusan buku. Jiwa geram pada zaman terakhir-nya, dianggap sebagai yang paling buruk.
Di pengasingannya, Jiwa membuat sebuah ruang bawah tanah berisi ratusan buku yang berhasil ia selamatkan. Ia ingin buku-buku dan ideologinya diwarisi oleh Angan, anak yang tidak pernah ada di dunia nyata. Dan akhir hayatnya ingin ditemani oleh istrinya, Ibu yang juga tak pernah ada dalam dunia nyata.
Jiwa meninggalkan dunia dengan tenang, dengan harapan yang diwujudkan oleh pikiran-pikirannya sendiri. Oleh pikiran yang membentuk sosok Angan dan sosok Raga dalam sosok Ibu.
Jiwa meninggalkan dunia tanpa tau bahwa buku-buku yang diselamatkannya telah terkubur sepenuhnya, bahwa dunia tetap pada perubahanya, dan ada orang-orang baru pada setiap zaman yang akan menulis sejarah zamannya.
Jiwa dalam keadaan meninggalkan dunia, tidak tau bahwa setiap sejarah itu terbatas, musuh utama pelaku sejarah adalah kematian yang terkadang sangat mengecewakan. Kesadaran kedua adalah bahwa sejarah sangat terbatas untuk sebuah penjelasan dan keadilan.

            Mayat Jiwa ditemukan lima tahun setelah kematiannya, biografi Jiwa ditulis oleh beberapa generasi setelahnya. 

                                                                               ***

Kutawarkan epilog pada kalian, aku percaya saja entah itu awal, tengah ataupun akhir cerita yang sepotong potong akan tetap menimbulkan rasa penasaran.

Ketika seseorang dengan mudahnya berkata "aku tidak suka cerpenmu, terlalu kronologis" tanpa mengetahui bahwa itu tahapan pertamanya melangkah, maka akan sangat tidak menyenangkan. hal itu mengingatkanku pada kejadian laporan praktikum yang dicoret seenaknya tanpa membaca, tanpa bertanya. 

Tapi sama sekali dengan itu, aku tak mau berhenti. Jika cari aman, aku akan bilang semua tentang selera, sebaliknya dia yang berkomentar adalah sebagai pembaca jadi aku gagal pada langkah pertama. 

Kukira seni itu bebas, kau bisa memulai karya tulismu darimana saja, dari mimpi atau hal tak berdasar sama sekali. kau bebas membuat tokohmu tak berlatar belakang, tak beridentitas atau hal-hal lain tergantung sisi mana yang ingin kau tonjolkan. sementara untuk sesuatu yang menjadi pakem, itu tergantung pada siapa dan apa kau berkeyakinan.

sama halnya kau yakin ada cara terbaik membuat seseorang bangkit pada awal ia melangkah, cara kasar dan cara halus. cara kasar seperti "Karya macam apa ini? Pembaca kau suruh memamah sendiri? Ceritanya ngambang tidak jelas, harusnya kamu jelasin bla bla bla nya sampe detail". atau cara halus seperti "Lumayan bagus kok, semangat ya semoga menjadi 'keberuntungan pemula' sebagaimana Tuhan ingin pemula mencicipi kemenangan agar ia mau mencobanya lagi."

intinya, semua hal tergantung kau berhadapan dengan karakteristik orang yang bagaimana, supaya tidak salah dan membengkokkan niat baikmu menjadi malapetaka wkwkw.

Tapi sejauh ini kukira megenai epilog yang dibocorkan, akan sangat mengurangi rasa penasaran atau nilai dari karya itu sendiri. epilog tidak sama dengan cuplikan klimaks di awal atau permainan plot. berbeda juga dengan cara pemecahan kasus Sherlock dan Conan, meskipun dalam Conan pelaku kejahatan diketahui dan dia mencari cara membuktikannya, ending ya tetap ending pada akihr.

Jadi bagaimana? Sebebas bebasnya seni, kurasa unsur estetik dan pemahaman adalah yang membatasinya.



Share: