Saturday 4 November 2017

Bittersweet Poetry


Tuhan dan Sejarah

Untuk apa Tuhan membuat sejarah?
Mungkin untuk puisi, lalu dibenarkan sendiri.
Tapi bisa juga untuk mencari rejeki pada tubuh orang mati.

Sejarah dibuat untuk bla bla bla
Diskusi harga mati, gengsi tinggi.
Sejarah di bla bla bla tanpa dipelajari.

Kemudian hilang, hitam tak kembali
Lalu bangkit, putih dan direka ulang
Dan akhirnya abu-abu tak bertuan.

Tuhan membuat sejarah untuk penguasa,
Tuhan membuat sejarah agar diubah-ubah.
Tuhan dan sejarah, Sejarah Tuhan.



Bapak 3 Zaman

Terima kasih kepada Emak yang melahirkan Bapak.
Hari kemarin, Bapak  telah menyudahi dirinya, Mak.
Tugasmu dan tugasnya berakhir sudah.

Bapak mengigau tentangmu dan buku-bukunya.
Sekujur tubuhnya dingin,
tungku disampingnya tak mampu menghangatkan.

Sebelum mati, Bapak hampir gila, Mak.
Aku ditanami kegilaannya juga.
Dia bilang buku akan dibumihanguskan,  generasiku tolol dan tak mau membaca.

Aku maklum atas kegilaan Bapak, Mak.
Ibu bilang, Bapak menanggung hidup dalam 3 zaman.
Ibu bilang 3 zaman itu bawa sial.


  

Main Simbol

Aku lahir Weton Sabtu Pahing,
Diramalkan bersifat seperti api,
Mudah marah.
Lalu ibu menyuruhku menjadi preman.

Negriku lahir di hari yang sama,
Hanya ramalanya berbeda,
Ia seperti api, mudah diadu domba.
Lalu esoknya,  runtuh.





Share:

Kumbang dan Babi Tuli


Kumbang, gadis 20 tahun yg diberi nama asal-asalan oleh orangtuanya dengan dalih
"Aku tak mau memberatkan arti nama bagi bayiku, terserah sajalah jika nama adalah doa, karena aku tak tau cara berdoa hingga setua ini. Dia perempuan dan namanya Kumbang. lalu?." 

Kumbang juga tak pernah mempermasalahkan namanya karena sedari awal ibunya sudah memutus segala obrolan mengenai nama. Menurut ibunya, tak perlulah kita menjelaskan panjang lebar menganai suatu  hal yang sulit diterima masyarakat kolot, cukup beberapa kalimat yang ingin mereka dengar saja dan masalah beres. Sisanya mungkin hanya cacian atau rasan-rasan beberapa minggu lalu kau dilupakan, jadi tidak usah buang-buang waktu dan tenaga.

 "Kau perempuan dan kunamai Kumbang. Agar bingung orang-orang.”

***

Kumbang baru-baru ini dikeluarkan secara paksa dari rumah nyaman berbentuk hati seukuran Gelora Bung Karno. Orangtuanya  tidak mau ia nyaman dan terlena di satu tempat.

“Keluarlah, agar kau tau dunia.”

Berbekal sebuah mirrorless, kumbang dilepaskan di hamparan sawah tanpa sekat.
Awalnya dia berpikir rumahnya adalah hal paling besar, ternyata ada sesuatu yg lebih besar daripada itu. Semua mata melihat pada kumbang, mulut-mulut penuh asumsi berbicara sana sini, tak berani klarifikasi, hanya justifikasi. Kumbang acuh sama sekali.

Kumbang adalah orang paling datar dan tak berperasaan, karena setelah pengusiran paksa itu, Kumbang mengambil jantungnya dan di pecah menjadi tujuh dalam Horcrux yang dibuat dengan kematian. Kumbang merasa mengetahui banyak hal tapi nyatanya ia tak pernah tau  tujuan. Dia tak bernyawa dan kesepian. Kematiannya, ia serahkan pada orang lain yang dapat menghancurkan ketujuh Horcrux-nya. Orang itu adalah hal yang paling tidak diketahui Kumbang.

***

Suatu siang, di sebuah warung tahu lontong, Kumbang bertemu dengan Babi Tuli.
Lalu mereka bercakap-cakap, Babi memulai. Sebelumnya, ini adalah kesempatan langkah bagi si Babi karena dapat berbicara dengan Kumbang, maka si Babi Tuli menyodorkan es teh kelapa untuk Kumbang sebagai salam perkenalan.

"Hallo Mbang, Kumbang". Seperti biasa, Kumbang acuh, tetap fokus pada makananya.

"Aku Babi, Mbang. Lengkapnya, Babi Tuli". Si Babi mendekat, sangat dekat dengan telinga Kumbang. Kumbang begidik geli dan tersedak.
  "Uhuukk."

Si Babi cepat-cepat memberi Kumbang minum. Setelah melihat Kumbang membaik, Babi langsung memulai obrolan. Babi menarik tangan Kumbang, menatap matanya dalam-dalam dan  kejadian ini cukup membuat Kumbang jijik serta begidik.

"Mbang, tatap aku. Aku serius pengen bicara sama kamu. Aku butuh kamu yang terkenal dimana-mana ini untuk memberiku nasihat. Aku nggak pernah dengerin orang ngomong, tapi buat kamu, aku buka kedua telingaku lebar-lebar". Kumbang menimbang, sementara muka Babi semakin menjijikan.

"Aku dapet apa?." Kumbang tidak mau membuang waktu cuma-cuma, ia harus mendapat sesuatu.

"Dapet info orang yang kamu cari". Jawab Babi dengan bangga.

"Aku nggak nyari siapa-siapa." Tegas Kumbang, datar.

"Kamu nyari penghancur Horcrux-mu."

Kumbang terdiam, berpikir, apa iya? Tetapi terlepas dari iya tidaknya, penawaran si Babi cukup menggiurkan.

"Setuju, Bi. Jadi, mau bahas apa?."

"Cinta, Mbang."

Sial!. Kumbang memaki dalam hati. Cinta, adalah bahasan paling tidak disukai Kumbang.

            "Kenapa harus cinta? Kenapa dengan cinta?."

            "Karena itu yang semua orang dan aku pengen tau dari kamu, Mbang. Kamu tak berjiwa apa masih merasakan cinta. Lagian cinta itu pembahasan yang penting nggak sih Mbang?"

Kumbang menghela napas singkat, dan mengangkat pundak seolah berkata entah.

"Oke Mbang, intinya cinta menurutmu apa?"

"Cinta ya sesuatu yang kamu rasa pas jatuh cinta."

"Rasa seneng, rasa deg-degan pas ketemu dia, rasa nggak mau kehilangan, rasa bahwa dia satu-satunya, gitu?."

"Rasa apapun Bi, terserah pokoknya pas kamu jatuh cinta, ya itu cinta."

"Tapi apa yang aku rasain ke pacar pertama aku sama pacar kedua aku kok beda ya, kayanya aku salah deh nganggep bahwa itu cinta ke pacar pertama, kayanya aku cintanya ke pacar kedua."

"Hell, terserah deh Bi."

"Loh jangan gitu Mbang, jadi gimana? itu yang aku rasa ke pacar pertamaku bukan cinta kan?."

"Dulu sempet bahagia nggak sama pacar pertama?."

"Iya."

"Yaudah itu cinta. Cinta tuh absurd Bi, karena punya banyak bentuk, punya banyak makna dan tiap orang beda. Gabisa juga kamu bilang ini cinta lalu setelahnya bilang ini bukan cinta karena persepsimu tentang cinta berubah. Pada saat itu, yang kamu rasa ya cinta, setelahnya gausa diperdebatin lagi atau di ralat semacam aku salah, ternyata itu bukan cinta. Kenapa harus terkotak-kotak, terhalang definisi, terhalang makna?.” Babi sedikit tercengang, Kumbang tidak lagi datar, emosinya sedikit meluap.

"Sori, Bi." Kumbang kembali datar dan meminum esnya.

"Gapapa, Mbang. Minum aja dulu hehehe."

"Bi, Makna semakin bias, manusia suka memaknai semuanya sesuai idealnya dia, susuai pencapaiannya. Itu wajar. Dan soal cinta, nggak ada yang namanya titik kepuasan kecuali ketidakpuasan itu sendiri. Itu berlaku juga buat cinta sejati yang nggak berujung sampai kamu menyerah dan ikhlas."

Setelah itu, terjadi keheningan singkat, Babi Tuli dapat menerima pendapat Kumbang tanpa elakan. Babi setuju sepenuhnya. Bahwa tak adil menyebutnya "bukan cinta, salah orang" setelah lama berbahagia dengannya dan menemukan sosok yang baru, atau sosok lain yang diidamkan. Yang harus dilakukan adalah menerimanya, ikhlas.
           
"Thanks ya, Mbang."

"Ya."

"Seseorang yang kamu cari itu, tinggal pada dunia buku yang ia baca."

"Itu dimana?."

"Tidak ada yang tau, dia selalu berpindah ketika bacaannya ganti."

“Berarti semua orang juga tinggal di buku bacaannya dong Bi.” Jawab kumbang kesal.

“Beda Mbang, dia bukan orang-orang kebanyakan. Dia sang Alkemis.”

“Alkemis? Gimana kita bisa tau kalo dia alkemis?.”

“Alkemis cuma ada sedikit banget di dunia, Mbang.”

“Aku harus mulai darimana nyarinya?.”
“Dari tempat yang harapannya hampir punah dan orang-orangnya putus asa.”

Kumbang menerawang jauh. Sesuatu dalam dirinya terasa aneh, sangat hidup. Kumbang akhirnya menemukan sebuah tujuan. Dia harus mencari sang alkemis dan mati ditangannya.


***
Share:

Bouleversé

Saya tak pernah pandai membuat judul, itulah alasan terkadang judul terasa begitu berat ketimbang isi. Karena dia sangat singkat dan harus mewakilkan isi secara keseluruhan. Baik, Lupakan.

Judul pada tulisan ini saya ambil dari Google Translate, bahasa Prancis yang artinya (entah salah atau benar) adalah "terkocok". Padahal tujuan awalnya adalah "terombang-ambing". Nanti kalian akan menemui bahwa sesuatu yang dipaksakan dari awal, akan menyusahkan pada akhirnya.

Secara personal, selain ingin terlihat memiliki upaya memikirkan judul dalam bahasa lain, saya memiliki  alasan tersembunyi dibalik judul yang bahasanya tidak saya pahami. Semacam kecenderungan, atau pemuasan diri.

Judul dalam tulisan ini, saya harap dapat mewakili isi. Saya tidak mau disamakan dengan judul berita atau judul video Youtube yang ngawur dan tak berkolerasi dengan isi (meskipun benar adanya).
Skip.

Terakhir, saya mengirimkan sebuah cerpen pada koran bulanan kampus. Saya pikir akan lolos dengan mudah, nyatanya tidak lolos, bukan apa-apa, saya pikir koran ini tidak sebegitu menarik, cerpen yang dimuat pun tidak jelas (beberapa sih) tapi lupakan, initinya saya mencari pembenaran dengan mengkambinghitamkan sesuatu. Suatu hari seseorang bilang pada saya, bahwa perbuatan seperti ini adalah "tai". Suatu hari saya sadar dari sebuah novel bahwa kau harus bilang hitam ketika itu hitam, setelahnya saya tidak mencari pembenaran dari kesalahan saya.

Kembali pada cerpen yang saya kirimkan, di sana saya membuat tokoh yang diharuskan mencari seseorang yang "tinggal dalam buku bacaannya". Awalnya saya tidak paham kenapa menulis itu, saya pikir itu akan membuat ceritanya cukup panjang dan terlihat absurd. Sampai pada satu titik saya merasa, ada benarnya, semua orang tinggal dalam buku bacaannya, Tapi untuk mencari orang yang dimaksud, kita harus menjadi bagian darinya, yang berarti mengabdi padanya, memberi waktu kita dengan segala pertaruhan "apakah dia orangnya?", jika salah ya diulangi kembali. Atau jika cukup pintar dan beruntung kita bisa menjadi pengamatnya dari luar, dengan data yang cukup untuk melihat karakternya tanpa harus "telanjang bersama".

Dari tokoh tersebut, sepertinya saya ingin mencari sosok yang sama. Atau malah saya sedang mencari sosok saya sendiri? Tidak tau. Suatu hari, pencarian sosok ini masuk dalam cerpen saya yang lain.
Saya sedang mengalami "hidup dalam buku bacaan". Buku saya bukan buku dalam makna harfiahnya, ia menjelma orang-orang yang saya temui dan yang saya ajak berdiskusi bersama, beberapa video yang saya tonton, kota yang saya singgahi, jalanan yang saya lewati, kamar tidur dengan lampu temaram yang mempengaruhi psikis saya, kehidupan konsumtif saya, dan terakhir buku, fisik sebuah buku bacaan.

Baiklah, hal yang saya tulis di atas adalah cikal bakal judul. Bahwa hari-hari ini saya mendapatkan pukulan berat, dan terasa diombang-ambingkan, dikocok.

Saya bertanya pula apakah seseorang yang telah membaca banyak buku akan merasa bahagia atau malah menderita? Yang satu menjawab tergantung bukunya, yang lain menjawab awalnya mungkin bahagia, nantinya menderita. Saya tidak membenarkan pun menyalahkan kedua pendapat itu, karena kesimpulan itu mereka dapat dari pengalaman membacanya juga.

Sedangkan saya, terhitung membaca sangat sedikit buku dan buku bacaan saya campur aduk (maklum, dalam hal ini saya tak kuasa membeli buku bagus pada Gramedia, karena terlalu mahal. Jadi saya hanya membaca buku yang dipinjamkan, yang saya pinjam, dan beli bekas ataupun mempengaruhi seseorang agar membeli buku yang saya ingini dengan dalih ini untuk kebaikannya, atau kebaikan saya).

Terakhir saya sedang membaca Masa Depan Tuhan-nya Karen Amstrong dan belum selesai, kemudian Sabda Zarathrustra-nya Nietzsche, Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng-nya Gaarder, Monte Cristo-nya Dumas, Sang Alkemis-nya Colho dan trilogi Parasit Lajang-nya Ayu Utami. 

Terakhir saya juga membaca beberapa artikel, menonton video iklan-iklan dan tekniknya, lalu pergi ke Surabaya dan merasa miris terhadap supir angkot, taksi, ojek konvensional dengan banyaknya kendaraan pribadi serta kehidupan malam di sisi lain Surabaya tanpa kata kasar seperti, jancuk yang diidentikkan. Keadaan dalam kereta yang menarik saya pada belasan taun lalu ketika masih tinggal di Jakarta dan ada pada gerbong tak manusiawi bersama orang Madura saat Idul Adha. Dan juga pada malam segala pikiran saya berkecambuk dalam kamar yang temaram dan membuat mata serta pikiran sakit. 

Termasuk dalam semua ini juga hasrat menulis yang datang seenaknya sendiri dan mencederai janji serta hak orang lain untuk bertemu. Sekarang ini, saat saya menulis ini, saya sedang egois tidak menghiraukan panggilan teman-teman saya. Untuk itu jika kalian membaca ini, saya minta maaf.

Begini, ketika saya membaca Zarathrustra, saya perlu berulang membacanya karena semua penuh isi, butuh orang dengan bacaan sepadan sehingga membacanya dan memahaminya dengan lancar. Lalu efek lain adalah timbul keputusasaan, karena tingkatan penggambaran manusia di luar manusia biasa adalah sebuah ide brilian untuk menciptakan sebuah harapan di tengah dunia penghancur harap bagi yang lemah. Seperti kata salah satu teman, bahwa dunia setelah kematian yang belum dapat dirasakan kebenarannya itu adalah bentuk keputusasaan terhadap kehidupan dunia.Semacam pengalihan kenyataan, sifatnya sementara. Setelah tidak menyelesaikan buku itu, saya menjadi sisi lain dari saya, bittersweet. 

To be continued...

Saya harus berhenti. saya menyalahi banyak hal. saya akan kehilangan keduanya jika mempertahankan keduanya. jadi saya lebih memilih meningglkan tulisan ini. jika siapapun membaca ini, saya harap, nanti setelah terjadi pembaruan pada tulisan ini, mohon datang dan baca lagi. 

siapa yang tidak butuh apresiasi? 

Share: