Tuesday 22 May 2018

Ayat, Tanda dan Hari ke-7

Pertama, saya suka angka tujuh.
Kedua, ini adalah hari ketujuh.
Ketiga, ayat memiliki terjemahan bebas sebagai tanda atau keajaiban,
Keempat, ada yang berkata jika kebetulan terlalu sering ditemui, apa masih bisa dianggap sebagai kebetulan?

Ini adalah hasil dari kata hilang di hari keenam dan kata ayat di hari ketujuh, yang keduanya saya posting di hari ketujuh dan saya benar-benar kehilangan kesempatan mengirimkan ini di hari keenam, tentu karena menyalahi aturan.

Saya beranggapan, kita semua setuju pada ayat Allah menghampar luas di seluruh semesta milik-NYA. Pun saya beranggakapan, kita sepakat ayat tersebut bukan hanya pada hal tersurat, tetapi juga tersirat seperti tanda yang diberikan awan, gunung, binatang, tumbuhan, angin, firasat, intusisi dan hal lain yang kita sepakati sebagai ayat atau tanda yang tersirat.

Saya tidak akan membahas ayat tersurat, karena kita masih belum menganggapnya sebagai suatu masalah, padahal justru itu masalah yang besar, kita gagap literasi. lebih memilih memikirkan besok makan apa ketimabang besok kalo buku ini selesai baca apa lagi ya? Saya tidak bicara Al-Qur'an karena Al-Quran pada beberapa orang diantara kita benar benar dibaca ketika bulan puasa dan dipahami maknanya seperti lirik lagu tombo ati, dan sebagaian lagi membiarkan Al-Quran tersimpat rapih pada rak-rak kayu di mushola rumah.

Saya juga tidak membicarakan buku-buku bagus berbahasa inggris yang memiliki keterbatasan akses karena mahal dan tak terjangkau untuk sebagian besar kita, ataupun karena bebrapa terjemahan sangat tidak relevan karena penerjemah kita sangat minim. Selain itu keterbatasan seperti kemalasan membaca, mendownload ataupun pergi ke perpustakaan kota dan lain lain yang lebih diketahui tidak akan saya bahas disini.

Yang dibahas disini adalah hilangnya kemampuan sebagian besar dari kita perihal membaca ayat tersirat, membaca tanda. Istilah populernya, kita ini nggak peka, kepekaannya hilang.


Notes: Setelah membacannya lagi dan punya niatan awal menyunting tulisan ini, nyatanya saya urungkan. Saya sudah kehilangan ingatan mengenai arah tulisan ini. 


Share:

Hari ke-6. Hilang, hilang adalah tidak diucap.


Keyboardku bersuara pilu, lirih. huruf a dan spasinya sudah tak mau bangkit. aku ingat sebuah puisi paling sedih paling pilu            bersajak ahaaa ha. aku tidak akan menegdit tulisan ini, biar kalian tau bagaimana a dan spasi masih berusaha membantuku pada keadaan paling kritis. mereka tidak hilang. sudah cukupkah kata hilangnya?

Belum, masih ada,

Hilang ini akan memiliki kesempatan untuk terkoneksi pada kata yang turun di hari ketujuh, yaitu "ayat".

Dalam sejarah kita, banyak hal-hal yang hilang pun sengaja dihilangkan. Asumsiku adalah pertama, kita anggap yang hilang memang tidak dipahami, yang hilang memang terluput dari ingatan              dimana kita tau ingatan manusia jika dimaksimalkan ya begitu adanya, atau yang hilang adalah yang tidak diprioritaskan untuk diingat, dan bisa juga yang hilaang adalah karena diri sendiri belum mampu menjelaskan.
Yang kedua sengaja menghilangkan karena ada yang pilu untuk diingat, ada yang memalukan untuk ditunjukan, ada ketidakpercayaan diri untuk memunculkan         dan ada ketidak-kuatan memaafkan diri di masa lalu sehingga dirasa butuh untuk menghilangkan, menghapuskan rekam jejak, dan yang terakhir kembali pada kepentingan indiidu itu sendiri.

Pembaca, mohon maaf saya tetap akan membiarkan a dan spasi pada kemampuan maksimal mereka.

kembali pada apa yang hilang dan apa yang sengaja dihilangkan tadi. Dua bagian tersebut, jika pada akhirnya dituliskan atau diceritakan dan diturunkan bermacam-macam cara penurunanya, akan menimbulkan pertanyaan karena janggal. nah rentetang hilang dan menghilangkan itu jika tak mampu dijelaskan maka akan kosong. kekosongan itu kemudian menjadi asumsi.

Asumsi seperti yang saya kerjakan sekarang. Asumsi ini sama sekali tidak dilarang, dengan catatan memiliki dasar yang kuat.
lalu, bagaimana jika hilang dan menghilang yang kosong ini tadi diisi asumsi yang tak berdasar karena kemalasan membaca? atau hal paling mainstrem dan jadi tren seperti judgment? pun kebiasaan kita yang mempertanyakan?

sebagai catatan, kata "kita" dalam hal ini monggo diisi dengan asumsi sendiri.

Asumsi terburuk saya adalah "distopia" kita akan kehilangan sejarah beserta bangsanya.

sudah mari dicukupkan. hilang yang bermakna negatif ini. pada sisi baiknya, dalam hidup bukankah memang harus ada ya ng hilang? lalu akan menemukan hal    lain yang lebih benar misalnya?

kedua konteks "hilang" pada perspektif baik buruknya bisa diaplikasikan pada dua kasus yang berbeda. sejarah dan kehidupan. sejarah, ketika ada yang hilang dan koson, meskipun kita mencari kekosongan denagn asumsi, suatu saat bisa trejadi suatu gap yang mengharuskan kita mencari kebenaran alain dari potongan yang hilang, dan bisa jadi itu adalah sebuah jawaban yang bisa melengkapi pertanyaan dari generasi yang menghilangkan dan generasi yang butuh tau akan hal yang hilang tresebut.

Bahkan apada konsep kehidupan dan metafisika, kita butuh hilang, butuh me nghilangkan diri, menghilangkan kata "aku" yang diaku untuk akhirnya tau makna aku      bukanlah kepemilikan, melainkan amanah yang bahkan setelah mengalami proses pencarian itu kita belum tentu berani mengaku lagi. dan hilanglah aku aku, ketemulah siapa dibalik aku.

jadi, siapa dibalik aku?

ini bukan kesimpulan dan juga bukan penutup. karena tulisan diatas sama sekali tak bisa mewakilkan masing-masing, karena tulisan terakhir berupa kesimpulan dalam tulisan ini ta k bisa menyimpulkan semua yang dituls di atas.

artinya, pada tulisan ini banyak yang hilang, tugas pembaca dan oenulis adalah mendiskusikannya pada waktu yang memang diluangkan unntuk saling membuka pikiran.

Diperbaiki pada 23 Mei        di suatu tempat pemberdayaan pemuda. Tulisan ini sedikit menginggatkan saya pada       kata hilang dalam liri k lagu "Hilanglah ke dalam zamanmu"

#Day6
#RamadhanBeerkisah
#PenaJuara





Share:

Monday 21 May 2018

Siapa yang tidak ingin di Dekap pada hari kelima?

Hari kelima adalah kesempatan yang bagus untuk menjadikan kata "dekap" sebagai aktor dalam semua tulisan ini, bukan seperti hari-hari sebelumnya yang tersisipkan dan hanya sebagai syarat.

Dekap itu candu, setidaknya itu menurutku. Dan masih menurutku, candu adalah hal-hal yang meng-enak-kan dan membuatmu ketergantungan, kalau lepas ya kau akan merasa tak berdaya lalu mencari pengganti-pengganti lainnya yang tak terduga.

Kembali pada dekap, Aku ingat, suatu malam tidur bersama seorang lelaki di sebuah jembatan di belakang rumah makan. Kami tidur pada alas yang disiapkan oleh rumah makan. Aku ingat saat sentuhannya membawa semua isi kepalaku keluar. Aku bercucau tentang apa yang kulihat dalam kepalaku, pikiranku penuh dengan hal-hal baru yang langsung kucinta. Aku ingat pada ciumannya, selalu terselip senyum akan ceritaku. Anggapan yang salah adalah bahwa pemicu seluruh keindahan isi kepalaku adalah sentuhannya. Itu bisa-bisaku saja yang didukung olehnya. Kami sama-sama mau pada waktu itu.

Yang kubenci selain ciuman pertama yang tidak sabar, adalah udara yang sangat dingin dan jika bukan karena suhu tubuhnya yang mendekapku sepanjang malam, bisa saja aku tak merasakan tubuhku lagi. Jembatannya basah, alasnya bolong dan lumpur mengenai celanaku. Setelah malam itu, lelaki tersebut terus saja merasa brengsek, berulang aku mewajarkan kejadian malam itu. Tapi kau tau ia terus saja menyalahkan dirinya, tapi suatu hari ia menginginkannya lagi, dan lebih.

Peringatan. Ia memperingatkanku dan nya untuk urusan tubuh. Ia tak mau kami akan tergantung pada hubungan badan yang menuntut lebih dan menyebabkan kebosanan serta dosa besar, yang pada akhirnya kuakui ia begitu berjasa dalam perumusan hal yang demikian. Karena nantinya kami memang terpisah dan perkataannya benar.

Aku juga ingat pada malam di sebuah tempat wisata yang kami masuki dengan gratis karena mengaku warga lokal. Kami sering bermain peran dan menjadikan orang sekeliling ikut terlibat dalam naskah dadakan untuk keuntungan kami.  Tempat itu berlipat lebih dingin dari jembatan basah. Kali ini meskipun aku dibawakan jaket anti salju serta kain lombok sebagai alas olehnya, tetap saja, aku kedinginan dan aku membenci itu.

Pada malam itu aku melihat bulan diantara daun pinus, aku di dekapnya. Kupikir itu malam sempurnya yang kujalani, kupikir dia pun sama. Kami berbagi diam, untuk pertama kalinya. Bagiku, berbagi diam adalah hal paling berharga yang tak mudah kuberi. Aku didekapnya dalam diam yang tidak memicu dosa.


21 Mei, aku tak bisa meneruskannya.

#Day5
#RamadhanBerkisah
#PenaJuara


Share:

Saturday 19 May 2018

Apa yang mereka mau dari kata Azimat di hari keempat?

Percakapan di sebuah pasar besar, di dekat penjual tempe tua dengan potongan tempe dan jenis yang beragam. Tidak ada pagi, siang, sore bahkan malam di pasar, semua nampak sama. Berlampu dan padat manusia, terutama ibu-ibu.

Seorang gadis memutuskan hialng dari gandengan ibunnya yang tak kunjung usai, belanja sedari pagi dan melaukan tawar-menawar dengan tidak manusiawi. Hobi sang ibu bukan pada belanjanya, melainkan pada proses tawar-menawar, ia merasa hebat saat berhasil menawar pada harga tertidak masuk akal. Hal tersebut membuatnya puas bukan kepalang.

Disebelah sang gadis, ada seorang lelaki lebih tua dua tahunan darinya. Lelaki ini dipaksa hilang oleh bapaknya. Tapi hilangnya dalam artian sebagai strategi pemasaran. Tak ada yang kebetulan sampai akhirnya mereka berdua duduk bersebelahan dan memulai obrolan.

G: "Ibumu suka menawar juga?"
L: "Tidak, malah ibuku yang sering ditawar".
G: "Lalu bagaimana respon bapakmu?"
L: "Tidakpapa, katanya ibu tau harga pasarannya."
G: "Ibumu jualan sendiri atau bapakmu yang menjualnya?"
L: "Mereka punya usaha yang berbeda, bapakku menjual azimat"
G: "Azimat itu apa?  Aku tak pernah tau ibuku menawar azimat."
L: "Azimat tak boleh di  tawar, nanti khasiatnya hilang."
G: "Azimat itu apa? Jamu?"
L: "Azimat itu sebauh teman untuk mencari uang dengan modal keyakinan. Teman itu berbentuk apa saja dari kertas atau benda lain yang memiliki sandi rahasia mencapai 10.333 kode sandi. yang membuatnya adalah orang tertentu yang sakti, yang suci."
G: "Terdengar rumit, bapakmu sakti?"
L: "Bapakku sakti, tapi aku lebih sakti"
G: "Kenapa kau sakti?"
L: "Karena aku menjual kesaktian bapakku kepada orang-orang tak sakti yang mempercayainya."
G: "Aku tidak mengerti, jelaskan lebih sederhana. Jadi kenapa kau sakti lebih dari bapakmu?"
L: "Karena aku menjual keyakinan, pada orang yang lemah iman lewat azimat sakti milik bapakku"
G: "Apakah menurutmu ibuku perlu membeli azimatmu?"
L: "Tidak, ibu terlalu percaya pada apa yang ia lakukan, tidak usah beli ini. Lagipula, ibumu kan suka menawar, nanti azimatnya tidak berhkasiat."
G: "Bagaimana kalo aku saja yang membelinya? Aku tidak akan menawarnya"
L: "Kau tidak perlu membelinya, akan kuberikan secara cuma-cuma, tapi dengan syarat"
G: "Apa?"
L: "Apa yang kau lakukan jika mendapatkan azimat ini?"
G: "Aku tidak begitu tau, selain membantumu menghabiskan azimat, aku juga ingin punya teman untuak mencari uang."
L: "Untuk apa mencari uang?"
G: "Untuk membayar barang-barang yang sudah ditawar ibuku"

Anak lelaki itu tersenyum, kemudian bergegas pergi sambil berkata:

L: "Tunggu aku."


20 Mei 2018
Tak ada yang kupikirkan sedalam mimpiku tadi malam.

#Days4
#RamadhanBerkisah
#PenaJuara




Share:

Mata, hari ketiga




Seorang manusia bermimpi memiliki sebuah museum kemanusiaan yang akan memanusiakan manusia dengan museum sebagai pemanusiaannya.

Museum itu hanya sebuah ruang kosong dengan penjaga disetiap skat ruang.

Museum memiliki ruang berspektrum putih, ruang hitam tanpa cahaya, dan ruang berwarna merah.

Ada cermin di setiap ruang yang menjadi ciri khas museum ini.
Cermin dengan ukuran, bentuk dan jumlah yang berbeda setiap ruang.

Skat antar ruang juga memiliki instruksi masing masing, intruksi hanya berupa tanda. Jadi kau harus peka membaca pada apa yang tak terlihat.

Jika kau gagal pada ruang pertama, kau tetap diperbolehkan menyelesaikan tour. Tour dilakukan dan diputuskan oleh diri sendiri.
Museum ini dirancang sesuai kebutuhan, jadi jika yang kau butuhkan hanya sekedar ingin tahu, ya kau hanya akan mendapatkan itu.

Tagline museum ini adalah "lihat dirimu, semua ada di dalamnya. Gunakan semua matamu, bukan mata harfiahmu".

Jadi jika kau keluar dengan perasaan yang luar biasa, kau berhasil dengan dirimu. Museum itu hanya perantara. Namun jika kau keluar dengan kebingungan, suatu hari datanglah lagi dengan tujuan baru. Jika kau keluar tanpa perasaan apapun, coba ajak teman atau minta bantuan penerjemah.

Ah aku lupa menjelaskan tentang penerjemah. Penerjemah adalah bantuan, karena ini museum kemanusiaan, jadi untuk kejadiaan khusus padamu yang tak peka membaca tanda, kau akan dibantu. Maaf maksudnya didampingi. Tapi dengan bayaran sebuah komitmen diri. Itu mahal.
Sehingga banyak yang lemah dan tidak menggunakan penerjemah dan membuatnya tersesat tak mendapat makna.

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan, bahwa museum ini hanya buka ketika terjadi krisis identitas. Dan data membuktikan museum ini berdampak positif signifikan terhadap krisis.

Museum ini tidak diketahui siapa pemiliknya, museum ini tidak berbayar dan tidak dikenai pakak karena dianggap sebagai aset negara.

19 Mei, menjelang subuh.
Semoga Tuhan merawat ingatan ingatan.

#Day3
#RamadhanBerkisah
#PenaJuara
Share:

Friday 18 May 2018

Amarah di hari kedua

Namanya, Amarah.

Dilahirkan pada kondisi paling aman disebuah kardus apel Washington, atau kadang dipindahkan di kardus Jeruk Mandarin jika sudah mulai basah terkena ompol atau air tajin.

Dibuatkan hiasan dan gambar-gambar dalam kardus, diputarkan musik klasik yang membuat orang-orang melihat heran, namun juga tenang. Bayi itu menikmati tempat yang dianggap tak layak. Bayi itu menangis dengan normal, tertawa dengan normal, makan dan ngompolpun dengan normal dalam kondisi yang tidak dianggap normal bagi banyak orang yang masuk golongan normal.

Konon, Amarah adalah anak negara yang dipelihara. Namun, negara ternyata punya lebih banyak anak daripada hanya satu Amarah, sehingga dengan mandiri si bayi Amarah memilih dirawat oleh alam.

Keputusan si bayi Amarah dianggap sebagai keputusan yang memiliki prospek masa depan yang menjanjikan. Alam bersifat membebaskan namun juga mengajari. Alam adalah ibu sekaligus ayah atau bisa menjadi apapun yang dibutuhkan Amarah termasuk anjing yang menjaga Amarah saat malam dan menjilatinya saat menangis.

Suatu hari yang cerah, Negara menjadi bahan omongan masyarakat seantereo kota. Negara merasa harga dirinya hilang sama sekali hanya karena seorang bayi bernama Amarah yang bahkan ia tak mengingat pernah melahirkan bahkan harus bertanggungjawab atasnya.

Pada menit yang tidak berselang jauh, Negara mendatangi kotak buah yang terkenal itu, yang berisi bayi bahagia asuhan alam. Negara menutup kardus tersebut dan membawanya pergi. Lalu dihanyutkan di laut, didoakan agar binasa dimakan hiu.

Satu hal, Negara benar-benar tidak tau, bahwa alam termasuk laut, dan hiu adalah orangtua asuh Amarah.

18 Mei 2018 dibuat dengan sebuah harapan.
#Day2
#RamadhanBerkisah
#PenaJuara
Share: