Tuesday 2 February 2021

Udah Pernah Tinggal di Desa, Belum?

Disclaimer: Tulisan ini berdasarkan pada pengalaman dan perspektif penulis. Jika ada yang memiliki pandangan berbeda, bisa disampaikan di kolom komentar, ya :)


Arsip pribadi penulis, salah satu rumah di Blarang yang dikelilingi pohon apel. 


"Saat beranjak dewasa, terutama setelah menikah. Saya mulai menyadari bahwa tinggal di desa bukan alternatif pilihan, tapi ia adalah pilihan utama yang disadari."


Jika pilihan itu datang saat kamu berusia remaja, kamu akan mendapat lebih banyak terpaan karena itu termasuk pilihan gegabah. Seperti, "kamu harus keluar dulu dan melihat dunia yang lebih luas, baru bisa memutuskan degan bijak". Pertanyaannya, jika sudah melihat dunia yang lebih luas, apakah si remaja ini akan kembali lagi ke desanya?.

Jika kamu memilih pada usia tua, kau dianggap bijak, namun harus membayar lebih. Semacam mengumpulkan bekal untuk menghabiskan masa tua yang damai (tidak memikirkan finasial) hingga tugas di dunia usai. Tapi, jika sudah selama itu, apakah pilihanmu sama kuatnya? 

Di satu sisi, tinggal di desa adalah investasi aman yang menguntungkan dan menjadi impian banyak orang. Di sisi lain, bagi sebagian orang, tinggal di desa adalah menjadi jauh dari kemajuan kota (pada beberapa kasus yang menjadikan tolak ukur 'maju' adalah apa-apa yang ada di kota).

Seluruh kasus di atas telah saya temui sepanjang perjalanan menjadi nomaden. Namun pada tulisan kali ini, saya tidak akan membahas perihal kasus di atas (atau mungkin bisa disampaikan pada tulisan yang lain), melainkan akan lebih fokus pada kehidupan yang saya rasakan selama tinggal di desa. Kehidupan yang menyenangkan ataupun menyedihkan, selalu seimbang serta kaya pembelajaran.


"Perihal rasa senang maupun sedih, bukanlah perkara situasi, melainkan kemampuan bersikap."


Saya lahir di desa dingin (udara) bernama Blarang, letaknya di Kabupaten Pasuruan. Pada usia sedini itu, saya tidak terpengaruh banyak pendapat mengenai di mana saya tinggal. Memiliki orangtua yang selalu ada, teman yang cukup, dapat bermain tanah, dan hal-hal terkait masa kanak-kanak yang lainnya membuat saya merasa senang tinggal di mana saja (kala itu). Hingga di masa kanak-kanak saya yang lain, saya pindah ke Jakarta. 

Jakarta sama mengasyikannya dalam perspektif saya yang masih SD. Mudik ke Blarang pun sama rasa. Perlahan memasuki usia remaja, saya memandang Blarang (hanya) sebagai kampung nenek yang dikunjungi saat liburan, sedangkan Bekasi (saya pindah kedua kalinya) menjadi rumah. Obsesi mulai terbentuk, perspektif tinggal di desa dan kota tidak lagi saya pandang sebagai kesenangan belaka masa kanak-kanak, melainkan jalan menuju sesuatu.

Saya memandang desa sebagai tempat yang tidak menjanjikan (kala itu), tentu karena selalu membandingkannya dengan kota. Namun, pemikiran itu tak dibiarkan berkembang terlalu jauh. Suatu hal yang cukup beralasan membuat kami sekeluarga harus kembali ke kampung nenek. Karena suatu hal tersebut menurut saya adalah paksaan, saya tidak pindah seutuhnya, ada bagian dari saya yang terus melakukan penolakan. Hingga saya berpikir, pada usia dewasa nanti, saya akan ke kota lagi, sendiri.


"Terlalu berambisi membuat saya tidak dapat melihat dan meresapi hal-hal baik di sekeliling saya".


Jika dipersingkat, saya akhirnya tetap harus menerima bahwa hingga dewasapun, saya sangat terikat pada desa. Kali ini, pada usia dewasa, terlalu banyak keajaiban yang terjadi. Sehingga saya tidak lagi ada pada pemikiran bahwa ini adalah paksaan. Saya mulai (baru) dapat melihat hal-hal baik yang saya lewatkan selama ini. 

Baiklah, kita masuk pada 5 hal baik yang saya alami ketika tinggal di desa.


Selamat datang di Dusun Krajan, Desa Blarang.


1. Saya dan suami tinggal di rumah orangtua, itu adalah kebaikan pertama yang akan membuka kebaikan-kebaikan berikutnya.

Tinggal bersama orangtua ketika sudah menikah, memiliki beragam makna. Salah satunya perihal kemandirian. Pasangan yang masih tinggal bersama orangtua pada anggapan umum masih belum memecah pikiran mereka, sehingga lena oleh apa-apa yang ditanggung orangtua dibelakang pemenuhan kehidupan sehari-hari. Sehingga yang mandiri adalah yang keluar dari bayang-bayang orangtua dan bisa berdiri di atas kakinnya sendiri.

Kami tidak sepenuhnya setuju ataupun menolak anggapan itu. Tapi kami punya pandangan lain mengenai kemandirian, kami dapati dari guru kami. Inti kemandirian kurang lebih adalah ketika kita mampu berguna bagi orang lain, berarti pada tahap ini kita harus selesai dengan urusan diri. Sedangkan perihal orangtua yang membantu kita dalam diam, menjadi nilai ibadah yang tinggi bagi mereka. 

Kembali pada cerita, rumah kami dihuni manusia tiga generasi; ada nenek (biasa kami memanggilnya emak), ada bapak, ibu, dan kami. Toleransi adalah kunci dalam keberagaman masa dan banyaknya kepala dalam satu rumah, seperti kita tau bahwa kunci itu cukup menantang, kan? Tapi salah satu hal yang harus disyukuri pada rumah ini adalah cara anggota keluarga saling mendukung (dengan seluruh prasangka baik mereka tentu saja dan hal ini sangat terlihat dan menonjol).

Rumah yang kami tinggali saat di Blarang belum kehilangan karakteristik desanya, terutama dibagian dapur. Masih ada pawon yang berfungsi dengan baik. Fungsi utama untuk memasak, fungsi kedua untuk menghangatkan badan dan menuturkan kisah (ini salah satu bagian terbaik). Kayu bakar yang sering kami gunakan adalah kayu kopi, kayu lamtoro, dan kayu apapun yang tersedia serta mudah didapat. Buih dari kayu saat dibakar dinamakan ontok, digunakan sebagai obat luka agar cepat mengering (setelah googling, ternyata fungsinya memang untuk penyembuhan luka). Beberapa hal dituturkan dan diturunkan melalui aktivitas memasak.

Duduk dan menghangatkan badan di pawon, dikenal dengan istilah api-api.

Kami punya halaman depan dan kebun belakang yang cukup luas untuk bercocok tanam. Saya bersyukur karena masih memiliki tanah yang bisa diinjak di dalam rumah (sebagian besar rumah warga sudah menutup halaman dengan beton dan seluruh lantai rumah dengan keramik). Kami membagi ruang terbuka menjadi 3 bagian: 
a. Bagian paling belakang kami gunakan untuk budidaya labu siam dan kandang bebek (biasanya bebek lebih setia, jadi seringnya dilepas bebaskan bermain).

Emak sangat menyayangi labu siam, para bebek, dan sekumpulan ayamnya.

b. Bagian 'hampir belakang' kami jadikan bedengan, semacam tempat menyemai bibit hingga siap tanam. Juga kami gunakan untuk kandang ayam.

Plastik UV pada bedengan berfungsi melindungi bayi tanaman dari sinar matahari yang terlalu menyengat.

c. Bagian paling depan difungsikan sebagai tempat tanaman yang sudah dipindah tanam, sekaligus jadi display untuk menarik perhatian orang lewat.


Bapak selalu meyemangati agar tanamannya tumbuh optimal, beliau mengajak tanamannya berbicara.


Ini salah satu tanaman rimbun di halaman rumah kami yang lain.

Kami memaknai bangunan fisik rumah sebagai bagian dari prinsip hidup dan sikap penghuninya. Suatu hari kami membuat konten di channel Youtube  yang direncanakan berseri, dengan judul besar Mertamu. Bagi kami, rumah juga perihal aktivitas manusia didalamnya. Rumah yang kami tinggali memiliki aktivitas tersebut, semisal yang terbaru adalah memfasilitasi anak-anak kecil sekitar untuk mempelajari apa yang mereka ingin pelajari di Komunitas Saharsa


"Keluarga merupakan awal segalanya, mereka memiliki pengaruh cukup besar dalam proses kehidupanmu. Tapi tetap saja, kamulah yang harus memutuskan. Dengan benar"


2. Hampir satu kampung memiliki hubungan keluarga, ini bukan kiasan.

Zaman dulu menurut cerita para sesepuh, perjodohan itu cukup kental di Blarang. Orangtua menjodohkan anaknya sesuai dengan referensi mereka, tapi sebatas dari sumber yang mereka tau. Diantara merekapun jarang sekali ada yang merantau jauh dari desanya. Sehingga referensinya tidak seluas sekarang, maka sangat besar kemungkinan mereka menikahkan anaknya dengan warga desa sendiri. Oleh karena itu, lahirlah silsilah yang cukup rumit (terutama bagi kami) karena sebagian besar warga desa memiliki hubungan keluarga.


"Daripada 'hanya sebagian besar', sederhananya semua menjadi keluarga meski tanpa ikatan darah."


Ketika kami pergi jalan-jalan misalnya, kami bertemu dengan orang-orang  yang sama sekali asing, tapi mereka menyebut kami "dulur dewe". Hal ini dirasakan sebagian pendatang, ketika salah satu anggota keluarganya meninggal, warga desa menjadi keluarga yang membantu semua proses hingga slametan 100 hari, dengan sukarela. Warga desa juga menggalang dana jika ada warga yang akan ke rumah sakit dan tak punya biaya. 

Ini adalah contoh kecil kebaikan warga desa, kebaikan kedua setelah keluarga inti. Kebaikan-kebaikan ini selanjutnya membentuk budaya kepedulian diantara warga desa. Jika awalnya hanya mengikuti kebiasaan membantu sesama, hingga waktu yang cukup lama hal tersebut akan menjadi kesadaran tiap individu. Semoga termasuk kami. Amin.

Warga Desa Ndukutan yang memanggil kami "dulur dewe". 


3. Komunitas Saharsa yang hadir dari semangat 'keingintahuan' anak-anak desa.  


Pembelajaran minggu ke-6, percobaan sains yang mudah dan ramah.

Suatu pagi, beberapa anak kecil ke rumah dan meminta diajari membuat tempat sampah dari kardus bekas. Suatu pagi itu adalah awal mula dari suatu aktivitas yang lebih besar dan melibatkan banyak manusia pada prosesnya. Suatu pagi itu, mungkin datang dari satu keinginan anak kecil yang berani disuarakan dan dilakukan, akhirnya memiliki nama Komunitas Saharsa.

Kami beruntung menjadi bagian dari Saharsa. Kami belajar banyak dari setiap hal yang ditunjukan oleh anak-anak kecil ini. Saharsa tidak berbayar maupun membayar, semua dilakukkan atas dasar kebutuhan, dengan sukarela dan tanpa paksaan (kami belajar konsep ini dari Ruang Belajar Aqil). Konsep tersebut sangat memudahkan kami dalam melihat semangat anak-anak maupun orang dewasa yang terlibat. Aktivitas di dalam Saharsa memberikan rasa puas dalam diri kami setiap melakukannya. Puasa karena kami dapat berguna bagi manusia lain. 


Piknik Saharsa dengan para ibu yang menjadi sekolah utama dan pertama bagi anak-anaknya.


"Siapapun dapat membuat komunitas seperti Saharsa, itu sama sekali tidak sulit. Bagian tersulit adalah berkomitmen dan beristiqomah setelahnya".


Apakah kami cukup berkomitmen dan beristiqomah? Sayangnya untuk saat ini, belum. Tapi kami tidak menutup kemungkinan jika suatu saat dimampukan. Melalui Saharsa, kami diberi kesempatan 'mencicipi' bagaimana rasanya diamanahi anak-anak yang banyak. 


4. Berbagi rezeki, sistem barter, dan kebun kejujuran.

Ada sebuah lelucon saat kami berbincang pada ritual keluarga Kamis malam, "Seumpomo sedino iku gak masak ngono tetep isok warek. Isuk nang Mak Rum, awan nang Mak Yah, sore nang Mak Imah". Jadi memang ketika kami bertamu ke rumah tetangga, sering kali ditawari makan. Atau kami memang sengaja minta makan. Justru dengan melakukan hal tersebut kami dianggap gak apikan, semacam enakan, nggak pilih-pilih, santuy.  Konteksnya pada menambah keakraban, tapi tetep ada unggah-ungguhnya.


Dua anak kecil, tetangga kami. Sedang gak apikan saat ditawari sarapan pake ikan asin.

Terkadang, kami juga melakukan sistem barter. Saya terutama, paling suka barter aron (nama lain dari nasi jagung) dengan sayuran di rumah. Saya menamai sendiri sistem barter ini, karena warga saling memberi tanpa minta ganti. Intinya dari hal ini, saya belajar untuk tidak berlebih dalam menumpuk sesuatu. Karena pada rezeki kita, ada rezeki orang banyak yang juga dititipkan. Pun pada makanan, ia akan senang karena tidak terbuang sia-sia. Berlaku pada perut dan organ tubuh lain hehe.


Ini bentukan aron, padat dan paling enak dimakan saat sedang mengepul. Dimakan pakai iwak asin dan sambel tomat.

Perihal kebun kejujuran, bapak saya punya insiatif dan kepedulian tinggi pada lingkungan, diwujudkan melalui tanaman produktif yang memenuhi gang jalan kami. Tanamannya mulai dari sayur-sayuran, toga, bumbu dapur, hingga bunga dekorasi. Bapak berdakwah melalui laku, tidak mudah, tapi beliau istiqomah. Kebun kejujuran akhirnya berjalan setelah sekian tahun, hasil berupa uangnya digunakan untuk kebutuhan menjaga lingkungan. 

Bapak mau berfoto karena anaknya yang minta. Bapak sebenarnya tidak narsis, karena beliau bergerak dalam diam


"Bapak menanam, ibu memasak. Sebuah kolaborasi serasi dalam rumah tangga."


Bapak dan ibu mau berfoto karena diminta anaknya untuk eksen. Pot yang digunakan berasal dari bahan bekas.

Sepertinya, poin ke-4 ini sangat sesuai dengan kebutuhan anak kos maupun pengantin baru hehehe....


5. Melalui outfit para petani, kami belajar berlaku bijak pada pakaian yang kami miliki.

Berbeda dengan beberapa profesi lain yang menuntut para pekerja berpakaian bagus serta rapi, para petani justru sebaliknya. Disebut sebagai pengalasan, baju dinas para petani yang mempraktikkan slogan 'berani kotor itu baik'. Biasanya pekerja kantoran membutuhkan waktu lama memilih baju dan berdandan. Kalau petani, yang terpenting sudah ngopi dan sarapan, ambil baju seadanya, ambil peraalatan, lalu let's go. Tentu saja sebenarnya tidak bisa dibandignkan sebebas itu karena kebutuhnnya berbeda.

Jadi, mari berfokus pada petani saja. Outfit alias pengalasan ini mengajarkan pada kita untuk berlaku maksimal pada barang-barang yang kita miliki. Secara tersirat selama beberapa generasi, para petani ini sangat cinta pada ibu bumi dengan menerapkan prinsip reuse dan recycle.

"Petani menggunakan pengalasan tanpa gengsi, karena yang terpenting adalah fungsi"


Perpaduan pengalasan yang digunakan Bu Tani ini membuatnya fotogenik.


Om saya pun tetap sangar dan fashionable dalam balutan pengalasan yang mungkin asal ambil. Foto ini natural tanpa pengarahan fyi.


Ini hanya 5 hal baik dari sudut pandang saya. Saya senang menulisnya, kembali lagi pada ingatan-ingatan di balik foto. Saya juga nggak sabar kalau ada diantara pembaca yang mau berbagi perspektifnya. Kami tinggal hampir satu tahun bersama orangtua, plot twist-nya, saya menulis ini semua di rumah kontrakan baru di pinggir kota. Ya, kami pindah beberapa bulan lalu, untuk alasan lain yang sama baiknya, Insya Allah. 


"Tak ada yang saya sesali, karena saya lebih senang mencari hikmah dibaliknya. Tuhan tak seiseng itu untuk membuat banyak kebetulan tanpa makna."


Ini ladang keluarga, sila berkunjung. Kalian bisa panen, mumpung belum berbayar hehe.


Menurut kalian para pembaca, apakah saya harus lanjut menulis? 















Share: