***
Suatu hari di Bojonegoro.
Kota yang panas itu.
Panasmu sudah menyatu denganku. Sungguh.
Mami kami adalah Mami siang tadi di ruang tamu Joglo.
Yang membuatku haru hingga menjerit.
Bukan Mami kemarin yg disetting Khudori.
Bukan semua orang yang tadi malam. Tak lepas. Tak bebas.
Adek-adek bukanlah yang lima puluh atau seratus sekian.
Tapi mereka adalah Febri, Mugi, Fahri dan Fahmi barusan.
yang mengantar hingga depan.
Yang semuanya berkumpul adalah yang sesungguhnya siang ini
ketika Bagong menjemput.
Kuingat jalanmu. Panasmu. Baumu.
Kemamang, akhir.
22 Agustus 2017
***
Sebelum merasakan KKN langsung, kukira KKN adalah kegiatan buang-buang waktu dan tak banyak gunanya. Pikiranku pendek sehingga hanya menganggapnya kegiatan membosankan selama satu bulan di desa orang.
FYI, KKN-ku di desa bernama Kemamang, Balen - Bojonegoro. Iya letaknya timur, panasnya nyengat.
Aku berangkat naik motor bersama ketuaku, di jalan ngantuk sekali karena malam begadang. Perjalanan enam jam di atas motor adalah pilihan salah, harusnya aku naik bus saja.
Sepanjang jalan, aku mendengarkan musik. Entah musik apa yang hanya "nanana" di telingaku, ia berebut suara dengan angin.
Suasana hatiku tidak menentu pada saat itu (sekitar tanggal 23 Juli), aku lebih memilih mendengarkan musik sebagai alasan "sedang tidak ingin bicara, sedang tidak minat diganggu" pada supir.
Aku melewati hamparan kerajaan jagung berwana hijau dan coklat. Lalu bukit kapur dan terowongan hitam yang mitosnya "jika menengok ke belakang, kau akan putus dengan pacarmu". Kujawab, sudah.
Setelah itu ada deretan pohon randu membentuk pagar, rindang dan penuh cahaya dari cela celanya. Jika siang atau sore akan menampakan batang-batang cahayanya. lalu disepanjang pohon randu itu, kau akan menemukan tempat peristirahatan nyaman seperti di daerah tol Cikampek, Truk-truk banyak yang singgah hanya sekedar lepas dari kursi panas dan berkeringat mereka untuk sekedar minum es teh. dan setelah masuk di Bojonegoro, hanya ada pemandangan kota dan rel kereta sepanjang mata memandang.
Untuk masuk ke Desa Kemamang, aku harus melewati rel kereta. Setelahnya aku akan melewati berhektar-hektar sawah.
Kami ber tigapuluh orang (16 Perempuan, 14 Laki-laki) tinggal di dua rumah, rumah Mami (untuk perempuan) dan rumah Joglo (untuk laki-laki, dua-duanya rumah mami dan bersebelahan).
Mami adalah ibu kos kami di sana. Mami dan Papi punya Risma dan Mas Riza. Mami adalah kakak dari kepala desa Kemamang (kepala desanya perempuan, periode sebelumnya yang menjabat adalah suaminya).
Mami sangat cantik, Papi ganteng dan menurun pada anak-anaknya (sayang, mas Riza sudah bertunangan).
Kami sampai sekitar zuhur, dan siang itu yang hanya ada niat untuk "aku harus menghabiskan energiku selama sebulan, start from now!" . Yash! Niatku yang tadinya acuh, jadi berubah seratusekianderajat, am still a human, ada yang salah dengan ke-random-an ini?.
Tak disangka, aku seperti kesurupan. Dalam keadaan panas berkeringat dan di desa orang, aku bersama teman KKN-ku yang baru kukenal (akibat short term memory lost) langsung membereskan koper dan barang-barang berserakan.
Malam harinya, ketika semua berkumpul dan makan malam di Joglo. Aku diam mendengarkan Empati Tamako, volumenya keras, aku duduk di jendela merasakan angin hangat Kemamang malam itu. Bersila sekitar 20-30 menitan, memejam mata, lalu diam. Beberapa orang menegurku, kuabaikan, hingga mereka berasumsi aku kesurupan. Aku mungkin terbawa angin hingga ufuk timur. Halah.
Aku mandi sekitar jam 12 malam. Aku bangun sekitar jam 3.30 sebelum anak-anak bangun. dan aku kembali melakukan ritual kesurupan (ini sebenarnya meditasi) pagi harinya di gazebo Joglo (ketika membuka mata, beberapa anak sudah mengelilingiku.
"Kon kesurupan a Ell?"
Oiya ada satu benda yang selalu aku bawa, tas Lombok hijau (barang pinjeman) yang oleh tema-teman KKN dianggap sebagai nyawaku, sehingga mereka sangat penasaran dengan apa yang ada di dalam tas tersebut.
Baiklah, isinya adalah buku tulis sederhana (bersisi catatan kematian) dan novel (panduan kematian). Mereka adalah ritualku sebelum tidur dan ketika tidak melakukan apa-apa.
Aku sering hilang pada tumpukan kedelai dan padi, membawa mirrorless teman, dan mengabadikan manusia di Kemamang.
Satu hal yang aku dapat dari membaca dan menulis (waktu itu aku membaca bukunya Gaarder), bahwa "Menulis adalah tentang usaha memahami diri sendiri, kau akan berusaha jujur, tapi bagaimanapun tidak ada yang namanya 'mengatakan yang sebenarnya', itu hanya omong kosong. Dan menulis diary sama halnya dengan menyerahkan kematianmu ditangan orang lain."
Selama tiga puluh hari, aku melakukkan ritual malam dan pagiku. ini sekedar catatan bahwa aku pada tahap ini telah berubah, telah menjadi orang yang cukup bertanggung jawab pada diri sendiri. Maksudnnya pada gengsi yang ingin kusembunyikan rapat.
***
Arsip fotoku sangat terbatas (yang sopan dan layak maksudnya). Selebihnya adalah kenangan yang tetap kusimpan dalam folder leptop.
Cerita ini akan sangat singkat (cerita lain tentang Kemamang akan diceritakan suatu hari pada kesempatan yang baik), aku membagi emosiku terlalu dalam pada sosok-sosok yang aku temui. Padahal rencana awal adalah bersikap dingin. Tapi nyatanya aku gagal sama sekali. Selanjutnya, ingat ini, jika kakak tingkat kalian bilang KKN itu seru maka, percayalah.
Malam itu, sebelum keesokan harinya kami kembali ke Malang, kami megadakan acara perpisahan. Konsep awal adalah duduk pada lapangan berumput yang dikelilingi oleh obor dan layar berisi video warga. Lalu kami membaur bersama warga, menertawakan isi video yang terdapat wajah-wajah Kemamang, ditemani kopi dan polopendem (makanan seperti jagung rebus, ubi dan singkong), dan menjadi hangat. Sayangnya, ada beberapa orang yang akhirnya tidak membuat malam perpisahan sesuai rencana.
Malam itu, yang terselamatkan hanya, ketika kami bertiga puluh naik ke atas panggung, dan aku membaca puisi diiringi lagu Kinanti. Semua pecah dalam tangis, kecuali aku (karena terlalu canggung menangis karena puisi buatan sendiri yang kualitasnnya kebu-kebutan, kan?).
Di bawah ini adalah yang disebut sebagai puisi, tapi sepertinya bukan. dan hanya dibuat beberapa menit sebelum acara, lalu siapa yang peduli ini dari hati atau bukan. Maksudku, mereka menangis karena situasinya sangat mendukung:
Kemamang.
Rumah, tempat pulang yang pulang.
Pak
Mudin benar,
bahwa
tidak ada yang tidak akan kerasan dengan desa ini.
Tiga
hari setelah kedatangan, kami bukanlah tamu.
Sudah
dianggap saudara dengan pintu warga dibuka dimana-mana.
Seluruh
rumah terbuka, mengampirkan, dan memberi makan.
Bahwa
seluruhnya menyambut dengan senyum, senyum terhangat malam itu.
Lalu
diterimanya 30 orang kami sebagai saudara, sebagai keluarga.
Diajaknya
bermain futsal, ngerujak,
bahkan
hanya duduk pada pelataran rumah di sore hari.
Malam
bermain gitar dan bercengkrama mengenai abah dan masa mudanya,
Yungti
dan sanak saudaranya,
Mas
Shinyo dan teman-temanya, melakukan ritual sahabat yang akrab
ditemani
oleh segelas kopi diatasnya, di warung barunya.
Lalu
esoknya ketika matahari benar benar datang dengan penghidupan baru,
dari
ujung desa kemamang terlihat rombongan petani dan anak anak sekolah bersepeda
menuju rutinitas masing-masing.
Sebagian
kami berbalik arah menuju pasar demi pukis dan pecel yang kata pak RT, nendang. Mungkin kami tak peduli lagi
apa sebutanya ini.
Puisi
atau apapun itu, yang penting isi hati.
Bahwasanya
terima kasih tak terbendung untuk orang orang dibalik seluruh kenangan dan
bantuan tak terlihat.
Jika
dirapalkan satu-satu namanya,
mungkin
akan sepanjang ini,
Terima kasih
untuk bapak kami,
bapak bapak seluruh Kemamang termasuk mbah
mbah dan abah abah.
Sosok
bapak dimana mana, pak Mudin, pak Pujiono, pak Bayan,
Abah,
om Sam, mbah Sabari, mbah Anas dan banyak dan banyak.
Kami
merasa pulang setiap hari dalam 30 hari pada kerinduan rumah, pak.
Terima kasih
untuk ibu-ibu lain yang tak mengandung tapi merawat kami,
menyayangi,
memasakkan, menegur, dan bersabar disaat genting cucian belum diangkat atau apapun
itu termasuk telat makan.
Ibu,
Mami, Bunda, bu Pujiono, Yungti, bu Rt, bu Bayan atau apapun sebutanmu,
terima kasih
berkali.
Selanjutnya
untuk adik-adik yang lebih suka bermain daripada mengerjakan PR-nya,
terima kasih,
Kalian
tidak pernah nakal, hanya saja overdosis mencari perhatian kakak-kakaknya, yang
lumrah dilakukan sodara.
Mengakrabkan
diri tak pernah bosan bersepeda dari Jetis, Karanglo, dan Kemamang menuju Joglo.
Dek, jadilah adik manis dan generasi optimis.
Kebebalan
kami yang tak terkira,
kesalahan
yang berulang,
dengan
keseluruhan dan ketulusan yang pernah ada.
Malam
ini kami melebur, menjadi satu kemamang,
menjadi
anak yang sungkem pada bapak ibunya.
Berpamitan
menggapai cita di tempat yang lain.
Maka, sodaraku seluruh Kemamang,
malam
ini khidmat dengan rapalan doa kami untuk Kemamang,
begitu
sebaliknya.
Kami,
30 orang keluargamu.
Bangga
akan kau.
Semoga
taman gantung dan plat jambu biji mengingatkanmu akan kami.
Lebih
dari itu kami harap kau mengingat kami bukan sebagai mahasiswa KKN,
melainkan
bagian darimu.
Wajah
kami, wajahmu, Kemamang.
Salam
manis dari kami, semoga berbahagia.
Kemamang
menjelang akhir,
dengan
tangis dan kasih sayang.
Senin,
21 Agustus 2017
0 komentar:
Post a Comment