Epilog
Pada suatu masa setelah teknologi semakin bernyawa melebihi manusia,
buku-buku dilarang beredar, dibumihanguskan. Pada masa itu juga orang-orang
menjadi gendut dan berkacamata. Lalu diantara mereka tinggal seorang lelaki
tua, satu-satunya penulis konvensional di negeri itu.
Penulis itu bernama Jiwa, lahir ketika perang berlangsung dan dibuang
oleh ibunya yang miskin. Jiwa memiliki umur tua yang menyebabkanya mengalami
tiga perubahan zaman. Perubahan zaman tak selamnaya membawa dampak baik karena
menuntut adaptasi dan pertahanan diri yang kuat.
Jiwa hidup seorang diri, orangtua angkatnya mati, kekasihnya Raga
meninggalkannya. Banyak hal yang membuat Jiwa memutuskan mengasingkan diri
setelah hari pembumihangusan buku. Jiwa geram pada zaman terakhir-nya, dianggap
sebagai yang paling buruk.
Di pengasingannya, Jiwa membuat sebuah ruang bawah tanah berisi ratusan
buku yang berhasil ia selamatkan. Ia ingin buku-buku dan ideologinya diwarisi
oleh Angan, anak yang tidak pernah ada di dunia nyata. Dan akhir hayatnya ingin
ditemani oleh istrinya, Ibu yang juga tak pernah ada dalam dunia nyata.
Jiwa meninggalkan dunia dengan tenang, dengan harapan yang diwujudkan
oleh pikiran-pikirannya sendiri. Oleh pikiran yang membentuk sosok Angan dan
sosok Raga dalam sosok Ibu.
Jiwa meninggalkan dunia tanpa tau bahwa buku-buku yang diselamatkannya
telah terkubur sepenuhnya, bahwa dunia tetap pada perubahanya, dan ada orang-orang
baru pada setiap zaman yang akan menulis sejarah zamannya.
Jiwa dalam keadaan meninggalkan dunia, tidak tau bahwa setiap sejarah
itu terbatas, musuh utama pelaku sejarah adalah kematian yang terkadang sangat
mengecewakan. Kesadaran kedua adalah bahwa sejarah sangat terbatas untuk sebuah
penjelasan dan keadilan.
Mayat
Jiwa ditemukan lima tahun setelah kematiannya, biografi Jiwa ditulis oleh
beberapa generasi setelahnya.
***
Kutawarkan epilog pada kalian, aku percaya saja entah itu awal, tengah ataupun akhir cerita yang sepotong potong akan tetap menimbulkan rasa penasaran.
Ketika seseorang dengan mudahnya berkata "aku tidak suka cerpenmu, terlalu kronologis" tanpa mengetahui bahwa itu tahapan pertamanya melangkah, maka akan sangat tidak menyenangkan. hal itu mengingatkanku pada kejadian laporan praktikum yang dicoret seenaknya tanpa membaca, tanpa bertanya.
Tapi sama sekali dengan itu, aku tak mau berhenti. Jika cari aman, aku akan bilang semua tentang selera, sebaliknya dia yang berkomentar adalah sebagai pembaca jadi aku gagal pada langkah pertama.
Kukira seni itu bebas, kau bisa memulai karya tulismu darimana saja, dari mimpi atau hal tak berdasar sama sekali. kau bebas membuat tokohmu tak berlatar belakang, tak beridentitas atau hal-hal lain tergantung sisi mana yang ingin kau tonjolkan. sementara untuk sesuatu yang menjadi pakem, itu tergantung pada siapa dan apa kau berkeyakinan.
sama halnya kau yakin ada cara terbaik membuat seseorang bangkit pada awal ia melangkah, cara kasar dan cara halus. cara kasar seperti "Karya macam apa ini? Pembaca kau suruh memamah sendiri? Ceritanya ngambang tidak jelas, harusnya kamu jelasin bla bla bla nya sampe detail". atau cara halus seperti "Lumayan bagus kok, semangat ya semoga
menjadi 'keberuntungan pemula' sebagaimana Tuhan ingin pemula mencicipi
kemenangan agar ia mau mencobanya lagi."
intinya, semua hal tergantung kau berhadapan dengan karakteristik orang yang bagaimana, supaya tidak salah dan membengkokkan niat baikmu menjadi malapetaka wkwkw.
Tapi sejauh ini kukira megenai epilog yang dibocorkan, akan sangat mengurangi rasa penasaran atau nilai dari karya itu sendiri. epilog tidak sama dengan cuplikan klimaks di awal atau permainan plot. berbeda juga dengan cara pemecahan kasus Sherlock dan Conan, meskipun dalam Conan pelaku kejahatan diketahui dan dia mencari cara membuktikannya, ending ya tetap ending pada akihr.
Jadi bagaimana? Sebebas bebasnya seni, kurasa unsur estetik dan pemahaman adalah yang membatasinya.
intinya, semua hal tergantung kau berhadapan dengan karakteristik orang yang bagaimana, supaya tidak salah dan membengkokkan niat baikmu menjadi malapetaka wkwkw.
Tapi sejauh ini kukira megenai epilog yang dibocorkan, akan sangat mengurangi rasa penasaran atau nilai dari karya itu sendiri. epilog tidak sama dengan cuplikan klimaks di awal atau permainan plot. berbeda juga dengan cara pemecahan kasus Sherlock dan Conan, meskipun dalam Conan pelaku kejahatan diketahui dan dia mencari cara membuktikannya, ending ya tetap ending pada akihr.
Jadi bagaimana? Sebebas bebasnya seni, kurasa unsur estetik dan pemahaman adalah yang membatasinya.
awww, raga nya kok gk dicantumin ya. si jiwa udah ada itu.he he he
ReplyDeleteiya dari skrang investasi buku kuy...., barangkali jamannya anak kita sudah tidak ada yang namanya baca novel dengan buku.
tapi selama kamu mnegomentari blogku, terus selama masih ada pohon dan hutan, kayanya bacaan begitu bakal tetep ada hahhaa
ReplyDeleteiya pohon dan hutannya itu looo, udah ada yang mau abis.
ReplyDelete