Tuesday, 22 May 2018

Hari ke-6. Hilang, hilang adalah tidak diucap.


Keyboardku bersuara pilu, lirih. huruf a dan spasinya sudah tak mau bangkit. aku ingat sebuah puisi paling sedih paling pilu            bersajak ahaaa ha. aku tidak akan menegdit tulisan ini, biar kalian tau bagaimana a dan spasi masih berusaha membantuku pada keadaan paling kritis. mereka tidak hilang. sudah cukupkah kata hilangnya?

Belum, masih ada,

Hilang ini akan memiliki kesempatan untuk terkoneksi pada kata yang turun di hari ketujuh, yaitu "ayat".

Dalam sejarah kita, banyak hal-hal yang hilang pun sengaja dihilangkan. Asumsiku adalah pertama, kita anggap yang hilang memang tidak dipahami, yang hilang memang terluput dari ingatan              dimana kita tau ingatan manusia jika dimaksimalkan ya begitu adanya, atau yang hilang adalah yang tidak diprioritaskan untuk diingat, dan bisa juga yang hilaang adalah karena diri sendiri belum mampu menjelaskan.
Yang kedua sengaja menghilangkan karena ada yang pilu untuk diingat, ada yang memalukan untuk ditunjukan, ada ketidakpercayaan diri untuk memunculkan         dan ada ketidak-kuatan memaafkan diri di masa lalu sehingga dirasa butuh untuk menghilangkan, menghapuskan rekam jejak, dan yang terakhir kembali pada kepentingan indiidu itu sendiri.

Pembaca, mohon maaf saya tetap akan membiarkan a dan spasi pada kemampuan maksimal mereka.

kembali pada apa yang hilang dan apa yang sengaja dihilangkan tadi. Dua bagian tersebut, jika pada akhirnya dituliskan atau diceritakan dan diturunkan bermacam-macam cara penurunanya, akan menimbulkan pertanyaan karena janggal. nah rentetang hilang dan menghilangkan itu jika tak mampu dijelaskan maka akan kosong. kekosongan itu kemudian menjadi asumsi.

Asumsi seperti yang saya kerjakan sekarang. Asumsi ini sama sekali tidak dilarang, dengan catatan memiliki dasar yang kuat.
lalu, bagaimana jika hilang dan menghilang yang kosong ini tadi diisi asumsi yang tak berdasar karena kemalasan membaca? atau hal paling mainstrem dan jadi tren seperti judgment? pun kebiasaan kita yang mempertanyakan?

sebagai catatan, kata "kita" dalam hal ini monggo diisi dengan asumsi sendiri.

Asumsi terburuk saya adalah "distopia" kita akan kehilangan sejarah beserta bangsanya.

sudah mari dicukupkan. hilang yang bermakna negatif ini. pada sisi baiknya, dalam hidup bukankah memang harus ada ya ng hilang? lalu akan menemukan hal    lain yang lebih benar misalnya?

kedua konteks "hilang" pada perspektif baik buruknya bisa diaplikasikan pada dua kasus yang berbeda. sejarah dan kehidupan. sejarah, ketika ada yang hilang dan koson, meskipun kita mencari kekosongan denagn asumsi, suatu saat bisa trejadi suatu gap yang mengharuskan kita mencari kebenaran alain dari potongan yang hilang, dan bisa jadi itu adalah sebuah jawaban yang bisa melengkapi pertanyaan dari generasi yang menghilangkan dan generasi yang butuh tau akan hal yang hilang tresebut.

Bahkan apada konsep kehidupan dan metafisika, kita butuh hilang, butuh me nghilangkan diri, menghilangkan kata "aku" yang diaku untuk akhirnya tau makna aku      bukanlah kepemilikan, melainkan amanah yang bahkan setelah mengalami proses pencarian itu kita belum tentu berani mengaku lagi. dan hilanglah aku aku, ketemulah siapa dibalik aku.

jadi, siapa dibalik aku?

ini bukan kesimpulan dan juga bukan penutup. karena tulisan diatas sama sekali tak bisa mewakilkan masing-masing, karena tulisan terakhir berupa kesimpulan dalam tulisan ini ta k bisa menyimpulkan semua yang dituls di atas.

artinya, pada tulisan ini banyak yang hilang, tugas pembaca dan oenulis adalah mendiskusikannya pada waktu yang memang diluangkan unntuk saling membuka pikiran.

Diperbaiki pada 23 Mei        di suatu tempat pemberdayaan pemuda. Tulisan ini sedikit menginggatkan saya pada       kata hilang dalam liri k lagu "Hilanglah ke dalam zamanmu"

#Day6
#RamadhanBeerkisah
#PenaJuara





Share:

0 komentar:

Post a Comment